Cari Blog Ini

Powered By Blogger

Sabtu, 26 Juni 2010

Minggu, 06 Juni 2010

”Festival Hujan” Menjemput Hujan Tanpa Awan

Manusia barangkali selalu punya cara untuk puaskan ingin dan angannya. Namun, seringkali mereka tak mau tahu apa akibat tak baik dari cara-cara yang dipilih untuk ditempuh itu. Nah, boleh jadi itulah akar semua soal yang kini dibicarakan di seluruh dunia. Ya, global warming.
Perubahan iklim global yang melanda manusia di tiap negara bukan lagi sekadar isu yang hanya dibicarakan di forum-forum internasional semata, lebih dari itu, masalah ini memerlukan aksi nyata yang mendunia baik pada tataran filosofis maupun praktis.
Berangkat dari hal itu, Bentara Budaya Bali mengadakan Festival Hujan pada bulan Februari ini. ”Februari harusnya menjadi bulan yang kaya hujan. Tapi kini, kita tidak dapat menerka datangnya hujan dengan penanggalan tradisional biasanya. Sekalinya datang, ia malah mengakibatkan banjir dan longsor dimana-mana”, ujar Putu Fajar Arcana, Kurator Bentara Budaya Bali. ”Festival Hujan merupakan perayaan untuk menerjemahkan ulang tanda-tanda alam yang belakangan hari semakin diabaikan”, tambahnya.
Dalam festival yang dibuka oleh Bapak Raka Santri, Wartawan Senior Kompas ini ditampilkan pementasan Gebug Ende dari Desa Sraya Karangasem yang digawangi oleh Bapak Badra. Tradisi gebug adalah aktivitas saling serang dengan menggunakan tongkat pemukul dan tameng yang dimaksudkan sebagai ritual pemanggil hujan. ”Ritual gebug tidak hanya dipercaya memiliki daya magis untuk memanggil hujan tetapi juga upaya tradisional untuk membaca musim”, ujar Putu Fajar. Para ”petarung” tampil ekspresif dengan tameng dan tongkat pemukul dari bambu. Sesekali mereka berteriak, seakan mencoba menunjukkan semangat yang tiada tara untuk menyambut datangnya hujan demi tanaman-tanaman pertanian mereka.
Selain seni tradisi Gebug Ende yang tampil dengan memukau, hadir pula teater Payung Hitam asal Bandung yang membawakan repertoar ”Puisi Tubuh”. Pertunjukkan yang disutradarai oleh Rachman Sabur ini mengundang banyak decak kagum terutama dari para penggelut teater remaja. Dengan gesit dan lincah para pemain mendaki tongkat bambu setinggi 3 meter, meliuk dan melentingkan tubuhnya ke tanah. Ada pula seorang pemain yang berekspresi dengan media engran, sesuatu yang sangat jarang dieksplorasi oleh kelompok-kelompok teater di Bali. Tidak salah kiranya, teater yang berdiri tahun 1980an silam ini seringkali diundang melakukan lawatan kreatif ke Eropa. Putu Fajar menyatakan bahwa repertoar ini berangkat dari pemahaman akan kesamaan variabel yang menyusun tubuh dan alam. Tetapi ruhlah yang menghidupi semuanya. ”Pementasan ini boleh jadi menjadi pengingat kita untuk senantiasa peka terhadap perubahan alam”, tambahnya.
Selain menampilkan pentas seni tradisi dan teater modern, dalam Festival Hujan kali ini diselenggarakan pula Pameran Seni Rupa Hujan yang memamerkan karya rupa dari 12 seniman. Pameran yang dikuratori oleh Wirata Dwikora ini barangkali menegaskan pula niat tegas dari seluruh kalangan untuk melakukan upaya-upaya strategis dalam rangka menghadapi global warming.
Ya, manusia memang selalu punya angan dan ingin kemudian mengupayakan beragam cara untuk mewujudkannya, tapi akan lebih baik bila kita tak lupa keharmonian dan keselarasan yang telah terpelihara jauh sebelum manusia ada di semesta.

”Festival Hujan” Menjemput Hujan Tanpa Awan

com